#2 KRISIS - Kenapa Harus Kembali Seperti Semula?

Paradigma Baru - Krisis
"Krisis adalah saat memisahkan dari yang lama dengan yang baru, bukan mengembalikan keadaan semula"

Kata orang bijak, krisis sering datang bagai pencuri di waktu malam, siluman yang selalu hadir di setiap waktu entah kita siap atau tidak. Pada era seperti sekarang, setiap organisasi – bisnis atau bukan – selalu berhadapan dengan berbagai masalah yang akan menjadi krisis apabila tidak mampu mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapinya. Apaladi kalau diketahui oleh pers dan kemudian menjadi perhatian publik dan ramai diperbincangkan. Dalam keadaan seperti ini, Anda akan berhadapan dengan masalah-masalah hukum, politik, finansial dan mungkin juga harus menghadapai tekanan sosial dari masyarakat yang gencar disuarakan oleh berbagai LSM atau tekanan dari pemerintah yang berdampak besar pada organisasi anda.

Kata krisis berasal dari bahasa Yunani, krisis yang berarti menggeser atau memisahkan. Ini berarti sebuah krisis memiliki potensi untuk menggeser sesuatu yang sedang atau sudah biasa kita lakukan, meminggirkannya dan menggantikannya dengan pekerjaan yang dituntut oleh masalah baru. Ini juga berarti bahwa sebuah krisis memiliki kekuatan untuk memisahkan masa lalu dengan masa depan sebuah masyarakat atau organisasi, atau memisahkan kita dari situasi damai ke situasi tidak aman, atau juga memisahkan pimpinan yang tidak efektif dengan yang lebih becus. Krisis menjadi sangat kental dengan perubahan, merubah kemapanan menjadi “business not as usual”.

Unsur utama dari suatu krisis adalah sifat dadakannya. Kemunculannya yang tiba-tiba akan membawa kita pada situasi yang mengejutkan, yang kemudian menjadi darurat ketika kita tidak dalam posisi siap. Keadaan darurat adalah situasi yang mau tidak mau harus ditangani jika tidak ingin melihat akibatnya yang fatal karena sifat destruktifnya yang sangat besar. Dadakan berarti berkaitan dengan waktu yang singkat dalam meresponsnya. Juga berarti perlunya tindakan ekstra di luar yang rutin atau yang telah direncanakan, atau sering disebut sebagai tindakan darurat sementara.

Penyebab krisis bermacam-macam, mulai dari bencana alam hingga bencana buatan. Tetapi faktanya dalam banyak kasus, penyebab terjadinya krisis justru adalah para pengelola organisasi atau instansi yang bertanggung jawab menangani bidang itu sendiri. Sebut saja sebuah instansi yang menangani bidang kehutanan, atau sebuah fungsi organisasi pada sebuah perusahaan yang menangani proses produksi. Para pengelolanya sering bersikeras bahwa tidak ada masalah di bidangnya, dan mereka akan selalu mengatakan begitu. Pada akhirnya mereka bahkan percaya sendiri tidak ada masalah karena terbiasa akan keadaan seperti itu. Tanah yang longsor namun belum berbahaya atau sedikit asap polutan akibat mesin produksi yang beranjak tua menjadi hal biasa dan dianggap tidak berbahaya. Ketika pada gilirannya longsor bersama banjir datang menyerbu seisi desa atau produksi tidak memenuhi target karena harus di berhentikan oleh warga, dengan enteng mereka berkilah atau menuduh kesalahan pada pihak lain, termasuk...(cek..cek..cek).... Tuhan!

Contoh nyata kasus ini adalah bencana banjir longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, dan di Kediri, Jawa Timur pada awal 2006. Para petinggi negara dan pemerintahan lokal dengan lantang menyebutnya sebagai bencana alam, bukan karena ulah manusia. Padahal hutan lindung di bagian atas daerah yang terlanda bencana itu telah digunduli semena-mena oleh manusia. Demikian juga halnya dengan banjir-banjir yang datang kemudian di tempat yang lain. Kilahnya begitu juga.

Itu baru soal penyebabnya! Bagaimana dengan reaksi dan respons para pimpinan untuk mengatasi krisis yang terjadi saat bencana itu datang?

Kebanyakan pimpinan kita akan berkata "Kita akan segera berusaha mengembalikan keadaan seperti semula". Maksdnya sih agar masyarakat terhibur dan lega. Padahal bagi yang tahu dan telah makan asam garam kehidupan di dunia, pernyataan itu terlihat konyol dan ,maaf, bodoh! Mereka tahu keadaan tidak akan seperti semula! Tanah tidak seperti dulu lagi, rumah tidak seperti dulu lagi saudara tidak selengkap dulu lagi, tetangga tidak seperti dulu lagi dan sebagainya. Konyol, bukan?

Itulah sebabnya para bijak sejak jaman Yunani kuno dulu menyebutnya dengan kata 'krisis' yang artinya berubah atau pindah situasinya. Nah, pemimpin yang visioner akan meggunakan krisis sebagai peluang untuk melakukan perubahan, justru ke arah yang lebih baik daripada sebelum terjadinya krisis.

Coba bandingkan dengan kasus lumpur Sidoarjo. Alih-alih berpikir ke arah yang yang lebih baik bagi kehiduan saudara-saudara kitadisana, para pimpinan malah lepas tangan dengan membiarkan rakyat bertarung sendiri dalam kepapaan mereka menghadapi situasi sulit itu, yakni dengan mengadu mereka dengan sesama rakyat juga yaitu (the culprit) Lapindo Brantas.




brought to you by Paradigma Ok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan memberi komentar, apapun pendapat anda itu milik anda.

Paling Banyak Dibaca

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Oh Indonesiaku

Gerakan Masyarakat Hirau Aturan