CARA PANDANG KELIRU MENANGANI LUMPUR SIDOARJO

Paradigma Baru - Krisis
Pengantar dr Bedul Andraldri,
Hi readers, ini ada sumbangan tulisan yg patut disimak dan akan menjadi kajian kita yakni paradigma baru tentang krisis yang akan saya tulis segera. Meski tulisan ini dibuat tahun 2006 tetapi masih sangat relevan bahkan terbukti benar analisis penulisnya: Masalah lumpur Sidoarjo alkan berlarut-larut tak berujung karena cara pandang yang KELIRU! Nah selamat memelototi tulisan ini. Terimakasih kepada pak penulisnya.

Hillon I. Goa
Trainer & Consultant for Leadership in Crisis

Lumpur Sidoarjo atau kita singkatkan saja dengan sebutan Lusi masih terus mengirimkan petaka. Hingga kini, sejak munculnya di akhir Mei 2005 silam, setiap hari selalu ada berita tentang Lusi dan akibat yang ditimbulkannya. Semuanya mengarah kepada isu sentral belum nampaknya tanda-tanda penyelesaian yang tuntas atas krisis ini. Orang pun bertanya-tanya kenapa masalah ini menjadi berlarut-larut tak kunjung selesai penanganannya sementara para korban masih terus didera penderitaan.

Dengan mempelajari lebih dari 1500 berita tentang Lusi di berbagai media masa sejak awal Juni 2006 hingga akhir Oktober yang lalu, saya memperoleh beberapa kesimpulan yang mungkin dapat menjawab kebingungan kita soal penanganan krisis ini. Fakta yang pertama mengungkapkan bahwa 46% dari berita-berita itu menyoal tentang ‘the culprit’, si tertuduh pelaku yang menyebabkan terjadinya bencana Lusi itu. Berbagai silang pendapat ramai terlontar dari bermacam pihak mulai dari Pemerintah, lembaga-lembaga swasta, pakar perguruan tinggi hingga orang per-orang. Tudingan utama jelas terarah kepada PT. Lapindo Brantas Inc (LBI), anak perusahaan PT.Energi Mega Persada Tbk yang sebagian sahamnya dimiliki grup Bakrie. Umumnya, mengikuti tudingan itu adalah tuntutan untuk bertanggung jawab menanggulangi atau menyelesaikan krisis dan dampak yang ditimbulkannya. Uniknya, hingga sekarangpun tuding menuding si pendosa itu masih terus ramai diberitakan meskipun tim nasional penanggulangan bencana Lusi telah mengambil alih penanganannya sejak bulan September lalu atau tiga bulan sejak Lusi menampakkan diri.
Fakta kedua mengungkap 36% berita menyoal tentang korban berikut penderitaan yang menimpa mereka. Umumnya berita-berita ini berasal dari reportasi para wartawan yang melakukan peliputan di daerah bencana serta jeritan yang disuarakan oleh lembaga-lembaga pemerhati, termasuk di dalamnya lembaga agama dan pesantren. Berbagai dampak Lusi masih terus dapat kita baca pemberitaannya hingga hari ini.
Fakta ketiga menunjukkan hanya 12% berita memuat langkah-langkah nyata menghentikan aliran Lusi dari perut bumi seperti pengeboran miring, penyumbatan lumpur dan sebagainya. Langkah-langkah itu hingga akhir September praktis dilakukan oleh LBI. Sedangkan 14% lainnya menyoal tentang berbagai teori teknis dan ilmiah proses melubernya Lusi dari perut bumi mulai dari salah prosedur pengeboran hingga ‘mud volcano’. Termasuk di dalam kelompok ini kajian-kajian ilmiah tentang profil Lusi mulai dari susunan kimiawinya sampai dengan bahaya dan manfaat yang dapat diambil.
Pemilik Krisis
Yang menarik dari fakta pertama dimana 46% berita menyoal si penyebab adalah silang sengketa soal siapa yang bertanggung jawab menangani krisis. Disini terlihat nyata kita tidak memahami betul konsep pemilik krisis. Kita cenderung sibuk mencari kambing hitam, si penjahat penyebab malapetaka itu dengan terus membiarkan para korban menderita tak tertangani secara baik, meskipun cukup banyak jeritan (36%) penderitaan korban yang diteriakkan oleh para reporter dan pemerhati.
Pemilik krisis adalah pihak yang memiliki tanggung jawab terhadap keselamatan warganya serta aset-aset yang dimiliki organisasi yang dipimpinnya, demi mencapai tujuan organisasi itu. Ini berarti bahwa pemilik krisis adalah pihak yang harus segera menangani krisis itu, menyelesaikannya demi keselamatan warga dan aset organisasinya dalam rangka mencapai tujuan organisasinya itu. Disebut krisis karena peristiwa itu dapat mengancam tercapainya tujuan organisasi yang dipimpinnya. Ini mengacu pada pengertian krisis yang didefinisikan oleh Institute for Crisis Management sebagai “A significant business disruption that stimulates extensive news media coverage. The resulting public scrutiny will affect the organization normal operations. Moreover, it could have political, legal, financial, and government impact on its business”.
Dalam kacamata ini, dan tanpa berniat membela Lapindo, pimpinan LBI/Lapindo adalah pemilik krisis atas keselamatan warga lapindo dan aset-asetnya, karena LBI sebagai sebuah entitas berada di dalam cyrcle of influence pimpinan LBI tetapi bukan pemilik krisis atas bencana yang menimpa masyarakat dan segala sesuatu yang ada di Kabupaten Sidoarjo karena berada di luar kendali LBI. Ini bukan berarti bahwa (pimpinan) LBI tidak harus bertanggung jawab terhadap lingkungan di sekitarnya, namun hendaknya kita lihat sebagai cyrcle of consideration dari sisi LBI. Meskipun tidak ada korban manusia warga Lapindo dalam bencana Lusi ini, namun jelas terjadi krisis bagi Lapindo mengingat kejadian ini akan secara serius mengancam kelangsungan hidup perusahaan ini baik karena tuntutan hukum, kerugian finansial, tekanan politik, maupun desakan masyarakat.
Ditilik dari skala yang lebih luas yakni organisasi kepemerintahan (Kabupaten, Provinsi maupun Negara), masyarakat Sidoarjo beserta segala sesuatu yang ada disana (termasuk LBI juga) adalah warga dan aset yang berada di dalam lingkaran pengaruh Bupati, Gubernur atau Presiden. Dari sini jelas kiranya bahwa pemilik krisis Lusi adalah pimpinan pemerintahan, lokal maupun pusat yang mestinya dengan segera turun tangan menanggulangi krisis Lusi ini tanpa berlama-lama (lebih dari 100 hari) sibuk berdebat menuding kambing hitam sementara warganya kebingungan bernafas di dalam lumpur. Bagi pemerintah Lusi harus dipandang sebagai krisis karena jelas telah membawa derita bagi banyak warganya serta hancurnya berbagai sarana dan prasarana sehingga mengancam pencapaian tujuan nasional dan sasaran-sasaran derivatifnya yakni menyejahterakan rakyat.
Standar Ganda
Analoginya sederhana, bukankah dalam kasus kebakaran pemerintah segera turun tangan mengirim armada pemadam kebakaran tanpa perlu berdebat siapa penyebab kebakaran dan menuntutnya untuk bertanggung jawab memadamkan api yang sedang melahap puluhan rumah. LBI, seperti halnya penyebab kebakaran, mestinya ditempatkan sebagai salah satu komponen warga organisasi yang harus tetap diusut perannya dalam krisis ini dan diperlakukan berdasarkan hukum dan peraturan yang ada. Sayangnya, kita semua sibuk memojokkan LBI untuk segera bertanggung jawab (termasuk pemerintah yang mendompleng situasi ini atau memang tidak mengerti) sementara proses hukum sedang digarap, sehingga baru 104 hari kemudian Presiden menandatangani pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Lusi setelah 7,1 juta m3 lumpur menenggelamkan 1,810 rumah, 18 sekolah, 15 pabrik, 2 kantor, 15 masjid dan mushala, 1.605 unggas, 30 ekor kambing, 2 ekor sapi, 7 ekor kijang, 25,61 ha lahan tebu, 172,39 ha lahan padi serta 1.873 orang kehilangan mata pencaharian.
Anehnya, meski akhirnya menyadari perlu ditangani secara nasional, segala biaya untuk kegiatan Tim Nasional itu dibebankan kepada LBI. Ini menunjukkan masih terjadi kerancuan pola pikir terhadap crisis ownership dan ini sangat berbahaya serta tidak menjanjikan di dalam menanggulangi krisis Lusi secara komprehensif. Bagaimana bila perusahaan itu tidak memiliki likuiditas yang memadai, akankah tim itu berhenti bekerja? Pemerintah harus menyediakan sumberdaya khusus dalam jumlah yang memadai untuk menangani sebuah krisis. Kepemimpinannya ditandai dengan keberanian mengambil keputusan cepat (dan bila perlu) ekstra prosedural tanpa perlu menunggu persetujuan lembaga-lembaga terkait. Ingat, para korban semakin menderita sejalan dengan waktu. Cepat, tegas dan sensitif adalah rumus utama kepemimpinan di dalam krisis. Akan halnya LBI, jika terbukti bersalah kenakan sanksi seberat-beratnya sesuai hukum yang ada, tidak sekadar mencabut ijin usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari negara sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumberdaya alam. Adakah ini akan berakibat panjang diusutnya otoritas pemberi konsesi kepada pihak swasta yang tidak memiliki kompetensi semestinya? Inikah yang menyebabkan segala kehebohan silang argumen yang menghambat penanganan krisis ini?
Bencana tampaknya masih akan terus mengintip kita, dan bila cara pandang kita terhadap krisis masih seperti ini, kita masih akan melihat deretan panjang penderitaan rakyat yang berkepanjangan.
Jakarta, Nopember 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan memberi komentar, apapun pendapat anda itu milik anda.

Paling Banyak Dibaca

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Oh Indonesiaku

Gerakan Masyarakat Hirau Aturan